Langsung ke konten utama

Sejarah Vihara Ratana Graha Pondok Cabe

 Sejarah Vihara Ratana Graha Pondok Cabe



(Sumber Dokumentasi Pribadi)


Asal Mula Vihara Ratana Graha Sebelumnya Adalah Kelenteng yang bernama Candra Meta yang kemudian tidak Ter-urus dan di jadikan Vihara dalam Asuhan Bikkhu Saddhaviro Mahathera Vihara ini adalah cabang Vihara ratana graha yang berada di grenville Jakarta Barat yang juga di ampu oleh Bikhhu Saddhaviro.
Arti dari Vihara Ratana Graha sendiri adalah Permata yang Mulia (Mempunyai Nilai tinggi) Ratana Permata dan Graha adalah Mulia. Jika dulu Vihara ini Berupa kelenteng yang lebih berbau etnis tionghoa dengan tiga Peribadatan yaitu konfusianisme, taoisme dan Buddhisme maka Vihara Ratana Graha ini adalah tempat Untuk umat Buddha 16 Juni 2015 Vihara ini Resmi dibuka dan sampai saat ini Vihara Sudah ber umur kurang lebih 3 tahun sejak di jadikan Vihara.
Ciri Khas Vihara Pada Umumnya sama  Namun dalam Vihara Ratana graha sendiri yang dalam asuhan Bikkhu  Saddhaviro memiliki ciri memadukan relief Kisah sang Buddha Sidharta Gautama, Stupa seperti yang ada dalam candi Borobudur dan Lambang daripada Sangha Theravada Indonesia serta simbol Murdha Tangan untuk menghormati Umat Buddha yang lainnya.
Adapun Arti Lambang Sangha Theravada Indonesia adalah Stupa melambangkan Nibbana (Kebebasan) yang merupakan dasar utama dari seluruh rasa Dhamma yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Sidharta Gotama dan akan menjadi tujuan setiap umat Buddha tentunya.
Stupa yang menjadi lambang Sangha Theravada Indonesia ini diambil dari stupa induk di puncak Candi Borobudur. Dhammacakka (Roda Dhamma) dengan jari-jari delapan di tengah-tengah stupa melambangkan Ariya Atthangika Magga (Jalan Ariya Berunsur Delapan) dalam Buddhisme yang merupakan Jalan untuk mencapai Kebebasan. Bikkhu Saddharviro Mahatera Juga menekankan Pengunaan Lambang sebagai Ciri. Empat lingkaran ditengah-tengah Roda Dhamma melambangkan Empat Tingkat Kesucian dalam menuju Pencapaian Kebebasan: Sotapatti, Sakadagami, Anagami, Arahat.

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)



Sistem dalam merawat pura Secara Perawatan fisik selalu menjaga kebersihan pura, bila ada yang rusak segera diperbaiki. Bikhhu Saddhaviro di samping mengasuh Vihara Ratana Graha juga membina empat belas Vihara lainnya. Kondisi Vihara Ratana Graha adalah menjadi tangung jawab semua Umat  Budha dari Vihara Ratana Graha. Dan Menjadi Aset dari Vihara Ratana Graha yang berada di Greenville Jakarta Barat.
Adapun dari segi Spiritual Vihara ini Rutin Setiap Seminggu Sekali Menjalankan Puja Bakti Sang Buddha dan Patha Untuk Upacara Marigala (Upacara untuk memperoleh Berkah). Dan Kegiatan Sosial Keagamaan Setiap Menjelang Hari Raya waisak.
Buddha Memiliki Konsep Sammadhiti yang berarti Pandangan Kebenaran memiliki keyakinan sempurna atau  Saddha dalam Tiga Mustika akan Buddha, Dhamma, dan Sangha, Serta memiliki kelakuan moral yang baik (Sila). Di Dhamma ada Istilah Samma-ajiva (lima Pencaharian salah) yang harus di hindari untuk menuju kepada Jalan Mulia yang berunsur delapan.
Salah satu yang Di terangkan dalam Samma-Ajiva berisi tentang Ketidak Setiaan hal ini menyangkut banyak hal yaitu termasuk Kesetiaan terhadap Negara atau pemerintah. Dan di sambung oleh daya upaya benar Samma-Vayama Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam batin. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah ada di dalam batin. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam batin. Berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada di dalam batin. Atas dasar itulah Umat Budha sangat menghormati Terkait dengan kebijakan Pemerintah. Umat Vihara Ratana Graha memastikan sangat patuh, percaya atas kebijakan pemerintah dapat mengakomodir kebutuhan umat Buddha Indonesia.



(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Vihara Ratana Graha Beraliran Theravada yang Perkembangan aliran Buddha Theravada dipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn (Bhante Vin). Dan Sekarang Termasuk dalam Bagian Sangha Agung Indonesia yaitu Sangha Theravada Indonesia. Aliran Theravada sendiri mayoritas berkembang di Asia Tenggara, Adapun Mahayana lebih berkembang di kawasan Asia Timur. Secara Ritual Sama namun secara Arsitektur Tempat Ibadah yang berbeda  dan salah satu Ciri khas Aliran Theravada yang membedakan adalah mengenai Konsep Empat Tingkat Pencerahan dalam Buddhisme adalah empat tahap menuju pencerahan sempurna sebagai seorang Arahat yang dapat dicapai oleh seseorang pada kehidupan yang Berjalan sekarang. Empat tingkatan Pencerahan ini adalah Sotapanna, Sakadagami, Anagami, Arahat. Pemahaman mengenai empat tingkatan pencerahan merupakan unsur utama pada Buddhisme awal, terutama pada Theravada. Dan Bersumber pada Kitab Tripitaka.
Konsep Beragama Buddha monoteisme mengklaim bahwa Tuhan hanya ada satu yaitu Sang Buddha dan memuja Sidharta Gotama yang menjadi Pancaran dari Sang Buddha. Namun Secara Prakter Budhha Menganut deisme, Tuhan itu ada, namun tidak ikut campur dalam urusan kejadian di dunia setelah Ia selesai menciptakan alam semesta. Theravada konsep Vibhajjavada (Pali), yang secara harfiah berarti “Pengajaran Analisis”. Doktrin ini mengatakan bahwa wawasan harus datang dari pengalaman, penerapan pengetahuan, dan penalaran kritis siswa. Namun, kitab suci dari tradisi Theravada juga menekankan perhatian terhadap nasihat orang bijak, mengingat nasihat tersebut dan evaluasi terhadap pengalaman yang dimiliki seseorang menjadi dua uji yang dengannya amalan-amalan harus dinilai. Theravāda mengambil tujuh tahap pemurnian sebagai garis dasar dari jalan yang harus diikuti. Jalan Theravāda dimulai dengan belajar, diikuti dengan pengamalan, yang berpuncak pada pencapaian Nirwana. Dengan Berprinsip Pada Empat kebenaran Mulia yaitu Dukha (Penderitaan), Dukkha Samudaya (Sebab penderitaan), Dukkha Nirodha (Berakhirnya Penderitaan), Serta Dukkha Nirodha Gamini Patipada; Cara Menghentikan Penderitaan yang Berguna untuk menuju Nirwana atau Kebebasan.



(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Ajaran Nasionalisme terdapat di kitab Sigalovada Sutta yang merupakan kitab pengaturan masyarakat. Di dalamnya, nasionalisme didasarkan pada prinsip sederhana: "Jangan biarkan kejahatan terjadi dalam kerajaanmu". Artinya, di manapun umat Budha berada, ia harus menegakkan kebenaran. Dengan demikian, nasionalisme dipahami dalam dua hal. Pertama, penegakan kebenaran sehingga yang terpenting bukan corak kebangsaan, tetapi kemampuan menegakkan Dharma di wilayah kebangsaan tersebut. Kedua, cinta kasih kepada sesama makhluk sebagai pengabdian masyarakat dalam kerangka hidup berbangsa. Maka dari itu untuk menjaga Tempat dimana Umat buddha Berpijak harus bersatu dengan sesama manusia dan melawan kejahatan yang terjadi dengan membuat peraturan atau Undang-undang.
Pancasila sebagai Ideologi negara sendiri sebenarnya sudah ada juga konsep Pancasila dalam ajaran dasar moral agama Buddha, yang ditaati oleh pengikut Siddhartha Gautama. Kata Pancasila ini Diartikan oleh Buddhisme berarti adalah  Lima Kemoralan.Pancasila Buddha digunakan untuk seseorang yang akan memasuki kehidupan beragama Buddha. Sang Buddha bersabda bahwa, “Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam dhamma, selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya (Dhammapada, 217). Dari uraian-uraian di atas ada suatu pemahaman bahwa keselarasan nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD sangat sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam tatanan Umat Buddha yang mendukung tegaknya NKRI yang berideologi Pancasila.
Sumber : Hasil Wawancara  yang dilakukan dengan pihak Yang dilibatkan sebagai narasumber  maupun pemberi tanggapan, yaitu:

Nama   :    1. Bpk. Chik Min Cu
                 2. Bpk. Mulyana

Sebagai  :  1. Romo Yayasan Vihara Ratana Graha Pondok Cabe
                  2. Pengurus Vihara Ratana Graha Pondok Cabe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peta Jalur Pelayaran Antara India - Indonesia

( Sumber :https://www.detik.com//) (Sumber : https://www.wikipedia.org/) (Sumber:http://hinduismegue.blogspot.com/2012/11/sejarah-agama-hindu-periode-weda-zaman.html) (Sumber : https://www.antaranews.com) Melalui Jalur laut. Para penyebar agama dan budaya hindu – Buddha yang menggunakan jalur laut datang  ke Indonesia mengikuti rombongan kapal-kapal para dagang yang biasa beraktivitas pada jalur India-Cina. Rute perjalanan para penyebar agama dan budaya Hindu Buddha, yaitu dari India menuju myamar, Thailand, semenanjung Malaya, kemudian ke Nusantara. Sementara itu, dari semenanjung Malaya ada yang terus ke Kamboja, Vietnam, cina, korea dan jepang. Di antara mereka ada yang lansung dari india menuju Indonesia dengan memanfaatkan bertiupnya angin muson barat.  Melalui jalur darat. Para penyebar agama dan budaya Hindu – Buddha yang menggunakan jalur darat mengikuti para pedagang melalui jalan sutra, dari India ke Tibet terus ke utara sampai dengan cina,

Seni Sastra Dari Masa Hindu-Buddha

SENI SASTRA DARI MASA HINDU – BUDDHA   >> http://jendelahindu-buddha.blogspot.com/2011/11/hasil-seni-sastra-dari-masa-hindhu.html Hasil sastra  berbentuk prosa atau puisi : 1.  Tutur pitutur (kitab keagamaan). Jawa dan Kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme.  Dalam perkembangannya, penyebaran Islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya Jawa, yaitu:             Pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa, ular-ular (patuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan, khususnya di Kerajaan Mataram (Yogya

Sejarah Pura Tribhuana Agung

Sejarah Pura Tribhuana Agung (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Asal Mula Pura Tribhuana Agung yakni Sebelum menjadi Pura Tri Bhuana Agung, tahun 1982 umat Hindu di Depok ini memperoleh tanah hibah dari Perumnas Cab. III seluas 1.000 meter Pembangunan pura ini dimulai tahun 1985 secara bertahap sesuai kemampuan umat pada Tanggal 8 Oktober 1994 diresmikan melalui Upacara Ngenteg Linggih. Arti dari Tribhuana Agung sendiri yaitu tiga Jalan untuk mencapai Moksa adalah Dharma atau kebenaran yang merupakan nafas Kehidupan, Pendekatan terhadap sang hyang widji wasa yaitu melakukan Pelatihan Rohani, dan Kesucian atau Puncak Moksa Dimana Manusia Berhasil Menyatu dengan Sang hyang Widhi (Tuhan). Secara Arsitektur Pura Tersebut Mengutamakan Kearifan Lokal Bali Struktur Tatanan Dalam Bangunan Tempat sang Hyang Widhi Wasa ada tiga tingkatan yaitu Tingkatan dasar berarti Bumi, tengah / badan bangunan adalah jalan mencapai Moksa dan Tingkatan teratas disebut Astana yang merupakan tempat