Langsung ke konten utama

Sejarah Pura Tribhuana Agung

Sejarah Pura Tribhuana Agung


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Asal Mula Pura Tribhuana Agung yakni Sebelum menjadi Pura Tri Bhuana Agung, tahun 1982 umat Hindu di Depok ini memperoleh tanah hibah dari Perumnas Cab. III seluas 1.000 meter Pembangunan pura ini dimulai tahun 1985 secara bertahap sesuai kemampuan umat pada Tanggal 8 Oktober 1994 diresmikan melalui Upacara Ngenteg Linggih.
Arti dari Tribhuana Agung sendiri yaitu tiga Jalan untuk mencapai Moksa adalah Dharma atau kebenaran yang merupakan nafas Kehidupan, Pendekatan terhadap sang hyang widji wasa yaitu melakukan Pelatihan Rohani, dan Kesucian atau Puncak Moksa Dimana Manusia Berhasil Menyatu dengan Sang hyang Widhi (Tuhan).
Secara Arsitektur Pura Tersebut Mengutamakan Kearifan Lokal Bali Struktur Tatanan Dalam Bangunan Tempat sang Hyang Widhi Wasa ada tiga tingkatan yaitu Tingkatan dasar berarti Bumi, tengah / badan bangunan adalah jalan mencapai Moksa dan Tingkatan teratas disebut Astana yang merupakan tempat persinggahan Sang Hyang widhi  wasa. Ciri khas lain yang membedakan dengan pura yang lain, Pura Tri Bhuana Agung memakai Konsep Eka Mandala Sedangkan pura lain memakai Konsep Tri Mandala Mengingat, area Pura Tri Bhuana Agung tidak luas, maka konsepnya disesuaikan dengan kondisi area, fokus pada Utamaning Mandala :
1. Eka Mandala. Utamaning Mandala, area suci, tempat Upacara Persembahyangan.
2. Tri Mandala: Utamaning Mandala: Madyaning Mandala, dan Nistaning Mandala
Ciri khas Utamaning Mandala pada area Utamaning Mandala terdapat Pelinggih (bangunan suci) Padma, Taman San, Bale Pawedan.
Ciri khas Madyaning Mandala pada area Madyaning Mandala terdapat Dapur Suci Bale Gong Segala aktivitas persiapan upacara dilaksanakan di area Madyaning Mandala.
Ciri khas Nistaning Mandala pada area Nistaning Mandala terdapat bangunan Bale Banjar, dipergunakan sebagai tempat pertemuan umat dan Beberapa Pertemuan Untuk Rapat (Musyawarah).



(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Sistem dalam merawat pura Secara Perawatan fisik selalu menjaga kebersihan pura, bila ada yang rusak segera diperbaiki. Kondisi Pura Tribhuana Agung adalah menjadi tangung jawab semua Umat Hindu dari Pura Tribhuana Agung.
Perawatan spiritual, Nitia Karma Yadnya: setiap hari melaksanakan upacara mesesaiban, mempersembahkan segala sesuatu yang dimasak dipersembahkan terlebih dahulu kepada Tuhan selaku pemilik, setelah itu baru kami sebagai umat Hindu boleh makan. Kemudian melakukan Puja Tri Sandya (tiga kali sehari melakukan) doa/ sembah kepada Tuhan: pukul 06.00, pukul 12.00, dan pukul 18.00).
Perawatan spiritual, Naimitika Karma Yadnya, upacara sewaktu-waktu: hari bertepatan dengan Bulan Purnama (terang). Tilem (gelap), Kajeng Kliwon. Semuanya ini dilaksanakan setiap 15 hari sekali. Semua ini mengacu pada Kalender Hindu. Selain itu Hari Raya Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi, Piodalan, dan Hari raya Nyepi.
Hindu Dharma memuat Ajaran Dharma negara yaitu setia terhadap Negara atau dalam hal ini pemerintah. Dalam menyikapi kebijakan Pemerintah, umat Hindu berpegangan pada Konsep Catur Guru, yaitu :
1. Guru Swadhiyaya: Tuhan Yang Maha Esa, semua ajaran suci yang tertuang dalam weda kitab suci Hindu.
2. Guru Rupaka: Ibu / Ayah, sebagai guru pendidık sejak dini di rumah.
3. Guru Pengajian. Guru pendidik di Sekolah Maupun Lembaga belajar Lainnya.
4. Guru Wisesa: Pemerintah, sebagai penyedia fasilitas sarana prasarana.
Umat Hindu sangat menghormati keempat guru ini. Terkait dengan kebijakan Pemerintah yang merupakan Guru Wisesa, Umat Pura Tribhuana Agung memastikan sangat patuh, percaya atas kebijakan pemerintah dapat mengakomodir kebutuhan umat Hindu Indonesia.

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)        

Umat Hindu Depok sebagai penyungsung Pura Tri Bhuana Agung menganut Paham Siwaisme, Hindu Nusantara atau Hindu Indonesia Berpedoman pada :
   1. Tatwa (Filsafat)
   2 Susila (Etika)
   3 Upacara (Ritual
Hindu Dharma atau Hindu Nusantara secara Umum ajarannya sama yaitu berasal dari Weda. Tatwa sebagai Weda Panca sradha yakni menyakini Tuhan Brahman, Atman, Punarbhawa (Kelahiran kembali), Karmapala (Hukum sebab-akibat), dan Moksa yaitu Bersatunya Atman dengan Brahman sekaligus sebagai akhir dari kehidupan yang absolut.
Konsep teologi Agama Hindu adalah Monotheisme. Percaya dengan Satu Tuhan, Sang Hyang Widhi. Dalam Weda di jelaskan Diantaranya, Yaitu :
1. Kitab Chandogya Upanishad IV.2.1: Ekam Ewa Adwityam Brahman yang berarti
2. Kitab Reg Weda: Om Ekam Eva Sat Wiprah Bahuda Wadanti yang berarti Tuhan
3. Dalam Puja Trisandya: ,. Eko Narayana Nadwityo Asti Kascit, hanya satu Tuhan
4. Kitab Kakawin Sutasoma: Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharma , artinya “Tuhan itu hanya satu, tidak ada duanya dan maha sempurna. hanya satu, tetapi orang arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama. sama sekali tidak ada duanya. berbeda-beda tetapi satu, tidak ada yang kedua.
Ibadah yang dilakukan dalam sebulan: Tri Sandya 3 kali sehari, Purnama 1 kali sebulan, Tilem 1 kali sebulan, Kajeng kliwon 2 kali sebulan. Belum termasuk juga  ibadah Menurut Kalender Hindu seperti Galungan,Kuningan yang sesuai dengan Kalender Hindu.
Sedangkan Penganut atau Umat dari Pura Tri Bhuana Agung
Berdasarkan Data Terhitung sejak 14 Februari 2018 Berjumlah 632 orang, dengan Rincian Penganut atau Umat sebagai berikut 158 KK. (Kartu Keluarga) yang berjumlah seluruhnya 314 Laki-laki dan 318 Perepmpuan.

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)  

Hubungan antar umat beragama di sekitar Pura Tri Bhuana Agung, sejak dahulu bahkan  sampai saat ini pun Terjalin dengan Amat
sangat baik. Saling menghormati, saling menghargai, dan toleransi baik sekali. Setiap ada kegiatan keagamaan lain yang dihadiri banyak orang Pihak Tri Bhuana Agung  selalu Membantu diantaranya dengan Cara meminjamkan Lahan Untuk digunakan sebagai Tempat parkir
Begitu Juga Sebaliknya. Kemudian Dibantu juga oleh beberapa warga sekitar untuk mengatur Misalnya Dalam Prihal lalu lintas Yaitu,
keluar masuk kendaraan. Artinya, semua berjalan lancar, aman terkendali. Pura Tri Bhuana Agung Ber Prinsip “Kita berasal dari sumber yang sama” (Wasu Dama Kulubaku) dalam menjaga hubungan. Semua mahkluk pada intinya adalah sama maka Hindu menjaga hubungan baik Kepada tuhan dengan Bakti, dan menjaga hubungan kepada manusia dan alam.
Pihak Pura Tri Bhuana Agung berpegangan pada Konsep Rwabhineda (dua hal yang berbeda tetapi bersatu), Ada unsur positif ada unsur negatif jadilah kehidupan, proses penyatuan. Kami umat Hindu pihak Pura Tri Bhuana Agung sangat mengerti bahwa sebagai warga Indonesia terdiri dari banyak perbedaan: agama, suku, golongan, bahasa daerah, adat. Semua perbedaan yang ada adalah suatu keniscayaan. Walaupun berbeda tetapi tetap bersatu dalam bingkai Indonesia, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD. Dengan Rwabineda dua hal yang tetapi satu dalam Tujuan. Hal itu menjadi landasan Umat Hindu dharma untuk taat empat pilar Bernegara, Kebenaran hanya satu namun Proses untuk menuju kepada kebenaran tersebut mempunyai cara yang berbeda.


Sumber : Hasil Wawancara yang dilakukan dengan pihak Yang dilibatkan sebagai narasumber  maupun pemberi tanggapan, yaitu:
Nama   :    1. Bpk. Nyoman Tri Djaya.
                 2. Bpk. Agung Putu Surana
                 3. Bpk. Made Namu
                 4. Bpk. Made Suwartika
Sebagai  :  1. Ketua Parisadha Hindu Dharma Kota Depok
                  2. Ketua Banjar Sukoduko Hindu Dharma Depok
                  3. Ketua Yayasan Tribhuana Agung
                  4. Umat Pura Trhibuana Agung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peta Jalur Pelayaran Antara India - Indonesia

( Sumber :https://www.detik.com//) (Sumber : https://www.wikipedia.org/) (Sumber:http://hinduismegue.blogspot.com/2012/11/sejarah-agama-hindu-periode-weda-zaman.html) (Sumber : https://www.antaranews.com) Melalui Jalur laut. Para penyebar agama dan budaya hindu – Buddha yang menggunakan jalur laut datang  ke Indonesia mengikuti rombongan kapal-kapal para dagang yang biasa beraktivitas pada jalur India-Cina. Rute perjalanan para penyebar agama dan budaya Hindu Buddha, yaitu dari India menuju myamar, Thailand, semenanjung Malaya, kemudian ke Nusantara. Sementara itu, dari semenanjung Malaya ada yang terus ke Kamboja, Vietnam, cina, korea dan jepang. Di antara mereka ada yang lansung dari india menuju Indonesia dengan memanfaatkan bertiupnya angin muson barat.  Melalui jalur darat. Para penyebar agama dan budaya Hindu – Buddha yang menggunakan jalur darat mengikuti para pedagang melalui jalan sutra, dari India ke Tibet terus ke utara sampai dengan cina,

Seni Sastra Dari Masa Hindu-Buddha

SENI SASTRA DARI MASA HINDU – BUDDHA   >> http://jendelahindu-buddha.blogspot.com/2011/11/hasil-seni-sastra-dari-masa-hindhu.html Hasil sastra  berbentuk prosa atau puisi : 1.  Tutur pitutur (kitab keagamaan). Jawa dan Kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme.  Dalam perkembangannya, penyebaran Islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya Jawa, yaitu:             Pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa, ular-ular (patuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan, khususnya di Kerajaan Mataram (Yogya