RESPONDING PAPER 12
UPACARA,
KELAHIRAN, PERKAWINAN, DAN KEMATIAN DALAM AGAMA HINDU DAN BUDHA
1.
Makna Kelahiran dan Upacaranya
Manusa
artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam
rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap
seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Upacara
manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang
artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari
catur purusa arta adalahbrahmacari, grehasta, wanaprasta,
dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan
mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan
dan masuk pada jenjang-jenjang kehidupan, Ada beberapa proses upacara Manusa
Yadnya seperti :
1.
Magedong- gedongan (Garbhadhana Samskara)
Upacara
ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan .
Tata
Pelaksanaan :
1.
lbu yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda,
dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2.
Si lbu menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas
berisi air dan ikan yang masih hidup.
3.
Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bamboo runcing.
4.
Si Suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing si
Istri sampai air dan ikannya tumpah.
5.
Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.
6.
Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab
2. Upacara
kelahiran (Jatakarma Samskara).
Upacara
ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai
ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.
Tata
Cara :
1.
Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang
genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma pada si
bayi mendapatkan keselamatan.
2.
Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu
ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah
menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil
atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian
atas ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan pada dasar
alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3.
Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya
diberi bunga.
4.
Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian
kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita
bila dilihat dari dalam rumah.
Upacara
ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas
kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban
baginya.
Kebahagiaannya
terutama disebabkan beberapa hal antara lain :
•
Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap
leluhur dan masyarakat.
•
Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.
3. Upacara
kepus puser
Upacara
kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada saat puser bayi
lepas.
Tata
Cara :
1.
Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke
dalam "ketupat kukur" (ketupat yang berbentuk burung tekukur)
disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain,
digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.
2.
Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3.
Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen
segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.
4.
Tidak ada mantram khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon keselamatan
dengan cara dan kebiasaan masing-masing.
4. Upacara
bayi umur 12 hari (Upacara Ngelepas Hawon)
Setelah
bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara Ngelepas Hawon.
Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian pula sang
catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti
nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
Sarana
Upakara yang kecil : Peras,
Penyeneng, Jerimpen tunggal dll, semampunya.
Upacara
yang biasa (madia) :
Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal, di sini hanya ditambah dengan penebusan.
Upacara
yang besar : Seperti
upacara madia hanya lebihnya jerimpen tegeh dan diikuti wali joged
atau wayang lemah.
Waktu
Upacara ngelepas hawon dilaksanakan pada saat si bayi sudah berumur genap 12
hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah pekarangan yaitu di sumur
(permandian), di dapur, serta di sanggah kamulan. Pelaksana Untuk melaksanakan
upacara ini dipimpin oieh keluarga yang paling dituakan.
Tata
Cara :
Pelaksanaan
upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si anak. Upacaranya dilakukan di dapur,
di permandian dan di kemulan berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara
Brahma, Wisnu dan Siwa. Inti pokok upacara yang ditujukan :
Kepada
si ibu adalah: banten byakaon dan
prayascita disertai dengan tirta pebersihan dan pengelukatan.
Kepada
si bayi adalah:
banten pasuwungan yang terdiri dari peras, ajuman, daksina, suci. Soroan alit
pengelukatan, dan lainnya.
Banten
pengelukatan di dapur, permandian dan kemulan pada pokoknya sama, hanya saja
warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:
· tumpeng merah untuk di dapur
· tumpeng hitam untuk di permandian dan
· tumpeng putih untuk di kemulan.
Inti
pokok banten pengelukatan tersebut
antara lain: peras dengan tumpeng, ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian,
penyeneng dan sorotan alit serta periuk tempat tirta pengelukatan.
5. Upacara
kambuhan (umur 42 hari)
Upacara
ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir
batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari
pengaruh-pengaruh negative (mala).
Tata
cara Untuk upacara kecil:
1.
Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.
2.
Si bayi beserta kedua orang tua diantar ke sanggah kamulan untuk natab.
Tata
Cara Untuk upacara yang lebih besar :
1.
Si bayi dilukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.
2.
Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita
3 Si
bayi beserta kedua orang tuanya natab di sanggah kamulan
Upacara
Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur 42 hari), merupakan upacara suci
yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya.
Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil air dan
di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga). Upacara Tutug Sambutan
(Upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang tujuannya
untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang dialami pada
waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini nama si bayi disyahkan disertai
dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng,
melobangi telinga.
Upacara
Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi
dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut untuk pertama kalinya. Apabila
keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun tersebut
dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan digunting pada waktu upacara
peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara Mepetik
ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang pelaksanaannya
berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug Sambutan.
6. Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana Samskara
Upacara
yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan
pawukon.
Sarana
Upakara kecil: panglepasan,
penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana
Upakara besar: panglepasan,
penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten
panglukatan, banten turun tanah.
Waktu
Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan tidak
memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya
dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk
dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara 6
bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di
lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
Tata
Cara :
1.
Pandita / Pinandita memohon tirtha panglukatan.
2.
Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si
bayi.
3.
Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan
lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
4.
Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar oleh
Pandita / Pinandita.
5.
Si bayi diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab
jejanganan.
6.
Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.
7. Upacara
satu oton - (Otonan)
Upacara
yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara
ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang
terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih
sempurna.
Tata
cara:
1.
Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon
persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
2.
Pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3.
Penghormatan terhadap leluhur.
4.
Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama kali,
untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5.
Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.
8.
Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
Upacara
yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini bertujuan
untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik.
Sarana
:
Tata
Cara :
1.
Pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan segala sesajen yang
tersedia.
2.
Si bayi natab mohon keselamatan.
3.
Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan
selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.
9.
Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
Upacara
ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan.
Tata
Cara :
1.
Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
2.
Si anak bersembahyang.
3.
Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut / tetebasan.
4.
Si anak diperciki tirtha.
10.
Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara
ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk
memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak
menyesatkan bagi si anak.
Tata
Cara :
Dalam
upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra / putri yang diupacarai terlebih
dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu dilanjutkan dengan natab sesayut
tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja singa bagi yang putra.
Ciri-ciri
anak telah meningkat dewasa.
Siklus
kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan mati (kembali keasalnya).
Manusia hidup di dunia mengalami beberapa phase yaitu, fase anak-anak, pada
fase ini anak dianggap sebagai raja, semua permintaannya dipenuhi. Phase
berikutnya adalah pada masa anak meningkat dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi
dianggap sebagai raja, tetapi sebagai teman. Orang tua memberikan nasehat
kepada anak-anaknya dan anak itu bisa menolak nasehat orang tuanya bila kondisi
dan lingkungannya tidak mendukung, artinya terjadi komunikasi timbal balik atau
saling melengkapi. Dan yang terakhir adalah phase tua, di sini anak tadi
menjadi panutan bagi penerusnya.
Sebagai
tanda dari kedewasaan seseorang adalah suaranya mulai membesar
/berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi perempuan pertama
kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini seseorang mulai merasakan
getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk hatinya. Bila
perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi dengan baik akan keluar dari
jalur yang sebenarnya.
Perasaan
getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua jalur yaitu, jalur niskala,
membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang disebut Raja Sewala dan
jalur sekala, dengan memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi dirinya.
Upacara
Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam Agastya Parwa bahwa,
disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat menuju sorga, yaitu: Tapa
(pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus iklas) dan Kirti (perbuatan amal
kebajikan) Upacara Raja Sewala merupakan Yadnya (persembahan yang tulus iklas)
yang membuat peluang bagi keluarganya untuk masuk sorga.
11.Upacara
potong gigi (mepandes / metatah)
Upacara
ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si manak.
Tata
Cara :
1.
Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2.
Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3.
Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara
mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi,
taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki
tirtha pesangihan.
4.
Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5.
Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila
sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6.
Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian
sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
Tujuan
Upacara Potong Gigi
Tujuan
upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontarkalapati dimana
disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah
yaitu dua taring dan empat gigi seri di atas. Pemotongan enam gigi itu
melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri
manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), mada
(mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak
terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap
orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa
agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala
Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia
yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di
kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka bersama roh suci
para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan mudamudi pun
diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar
Semaradhana.
Upacara
potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan
pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah
menginjak dewasa,meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.
12.
Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya
adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat
bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Tata
cara
1.
Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai
mabhyakala dan maprayascita.
2.
Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak
tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan
mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai
Iaki-laki.
3.
Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten
dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai
upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar
mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa
mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang
tua/leluhur.
-
Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita
bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya
menjadi tanggung jawab bersama.
-
Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut
sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim
patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier
(garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena
wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara
Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci
Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan
( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai
perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul
tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala
Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan
kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah
tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja
sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan
(keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar
yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas)
serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci
Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" (Sarana Pemutusan)
yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai
benang tersebut putus.
3.
Makna Kematian dan Upacaranya
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu
di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada
Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang
mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan
menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben.
Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa
api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra
Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari
kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi
bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
Bentuk-bentuk
Upacara Ngaben
Ngaben
Sawa Wedana
Sawa
Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa
dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu
3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa
terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung
hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk
upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing
rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah.
Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin.
Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan
jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi
makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum
diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya
tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
Ngaben
Asti Wedana
Asti
Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah
dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali
kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang
belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa
setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak
diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah
akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring
Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
Swasta
Swasta
adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal
ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar
negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah
biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi
aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Ngelungah
Ngelungah
adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
Warak
Kruron
Warak
Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
Tujuan
Upacara Ngaben
Upacara
ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1.
Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke
sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu
keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2.
Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan
segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada
asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian
Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk
tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur,
air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja :
unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang
membentuk rongga dalam tubuh.
3.
Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga
telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.[1]
Upacara
Dalam Agama Budha Dharma
Dalam
Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak
lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu,
orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi
terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di
depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha,
sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi
Relic Suci, di Kandy.
Pada
saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke
awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk
beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu
menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang
diberikan.
Lahir
Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih
nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang
baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti
kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim
kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus
Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di
mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam
rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu.
Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia
telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah
seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau
memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti
untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang
tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha
setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
Pentahbisan terjadi sepanjang
bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu
adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi
ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh
masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari
upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang
konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih,
ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha,
dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat
menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don
kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia
diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan
dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu
ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
Menurut
"Upacara Ritual Buddhis dan Sri Lanka," dengan pengecualian
penahbisan dengan kehidupan monastik dan ritus pemakaman, hidup peristiwa
siklus dianggap sebagai urusan sekuler untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak
seperti di agama besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan
bayi-upacara ada. Dalam masa yang lebih baru, ritual Buddhis telah dicampur
dengan orang-orang dari agama-agama dunia dan budaya lain. Di banyak negara
bahwa praktek Buddhisme Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan
Buddha penamaan bayi-ritual.
B. Perkawinan dan upacara perkawinan
Perkawinan
adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam
Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan,
akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting
bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Azas
perkawinan
“Sebagai
warga negara Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan
peraturan hukum Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di
dalam melaksanakan perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum,
haruslah mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di
dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang
laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh
mempunyai seorang suami. Terdapat perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan-alasan yang ditentukan secara
limitatif yaitu apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri, apabila isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di
dalam pasal 10 ayat 4 dari Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 ditentukan
bahwa : Izin untuk beristeri lebih dari satu tidak diberikan oleh pejabat
apabila : a. Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan.
Walaupun
ketentuan ini ditujukan kepada Pegawai Negeri sipil, tetapi azas ketentuan
bahwa izin tidak diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama
yang dianut oleh pemohon izin, adalah berlaku juga terhadap bukan Pegawai
Negeri Sipil yang memohon izin kepada Pengadilan Negeri sebagai suatu ketentuan
yang mengikat dan untuk ketertiban umum serta kepastian hukum.
Walaupun
di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut,
tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas,
yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang
laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka
dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas
monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Perlu
dipertimbangkan, bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat
kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana,
apalagi setelah ia mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan
menyakiti hati isteri atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada
seorang laki-laki yang telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha,
maka setelah beralih menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan
isteri atau isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha
sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.
UPACARA
PERKAWINAN
I.
PERSIAPAN UPACARA
A.
Agar dapat dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka
calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha
(misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan
untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).
Caranya
adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
Dua
lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua calon mempelai.
Dua
lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir dari kedua calon mempelai.
Dua
lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang status tidak kawin dari
kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
Surat
izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21 tahun.
Tiga
lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
B.
Setelah semua syarat dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya,
maka pengumuman tentang perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman
selama 10 hari kerja.
C.
Dalam hal perkawinan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat
Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat
Kecamatan).
II
PELAKSANAAN UPACARA
A.
TEMPAT UPACARA
Upacara
perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya
atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara
perkawinan.
B.
PERLENGKAPAN ATAU PERALATAN UPACARA
Persiapan
peralatan upacara :
Altar
dimana terdapat Buddharupang.
Lilin
lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
Tempat
dupa
Dupa
wangi 9 batang
Gelas/mangkuk
kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
Dua
vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
Cincin
kawin
Kain
kuning berukuran 90 X 125 cm2
Pita
kuning sepanjang 100 cm
Tempat
duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
Surat
ikrar perkawinan
Persembahan
dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan
lain-lain.
C.
PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN
Pandita
dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
Kedua
mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
Pandita
menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang
mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha,
apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
Penyalaan
lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
Persembahan
bunga dan buah oleh kedua mempelai.
Pandita
mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara *)
Pernyataan
ikrar perkawinan**)
Pemasangan
cincin kawin.
Pengikatan
pita kuning dan pemakaian kain kuning.
Pemercikan
air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
Pembukaan
pita kuning dan kain kuning.
Wejangan
oleh pandita.
Penandatanganan
Surat lkrar Perkawinan.
Namaskara
penutup dipimpin oleh pandita.
*)
Pandita
pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi
kalimat :
ARAHAM
SAMMASAMBUDDHO BHAGAVA
[A-ra-hang
Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]
BUDDHAM
BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang
Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang
Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku
bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)
SVAKKHATO
BHAGAVATA DHAMMO
[Swaak-khaa-to
Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM
NAMASSAMI
[Dham-mang
Na-mas-saa-mi]
(Dhamma
telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku
bersujud di hadapan Dhamma)
SUPATIPANNO
BHAGAVATO SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no
Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM
NAMAMI
[Sang-ghang
na-maa-mi]
(Sangha,
siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna,
aku
bersujud di hadapan Sangha)
**)
Sebelum
menyatakan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :
NAMO
TASSA BHAGAVATO ARAHATO
SAMMA
SAMBUDDHASSA
[Na-mo
Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa]
(tiga
kali)
(Terpujilah
Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
Catatan
:
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Menurut
Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut
tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri
oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai
pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).
Apabila
upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat
dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang
diangkat oleh Gubernur setempat.
Apabila
upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai
Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan
mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa
upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat
tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung linnya dibawa ke Kantor Catatan
Sipil untuk dicatatkan.[2]
[1]Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha.
Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia. 2010. Hal 57-80
[2]
(Sumber: Tuntunan Perkawinan
dan Hidup Berkeluarga dalam Agama Buddha, Penyusun: Pandita Sasanadhaja Dokter
R. Surya Widya, psikiater, Pernerbit : Pengurus Pusat MAGABUDHI bekerjasama
dengan Yayasan Buddha Sasana, Cetakan Pertama, Mei 1996) Hal 21-42
Komentar
Posting Komentar