Responding Paper 6
Ajaran
Budha Dharma Tentang Manusia dan Alam
A.
Penciptaan Manusia
Dalam
agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan, melainkan akibat dari
proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah manusia.
Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran mengenai alam semesta.
Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya akan lahir kembali dan
berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai adanya manusia.
Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan akibat. Proses sebab
akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahir adalah
sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana
mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul
kehidupan yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian
yang mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan
mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya
(perbuatannya) dikehidupan yang lalu.
Agama
Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk mendatangkan hal-hal
yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang akan dialaminya
(karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran
mengenai tidak adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca
indra ini bagi kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan
substansi-substansi yang mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan
hanya dharma, unsur-unsur keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana,
tidak ada satupun yang kekal. Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita
ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti, bahwa
tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur yang
daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.
Dharma-dharma
itu terbagi atas lima golongan yang disebut dengan skanda: Rupa, yaitu badan,
yang badani, benda (materi); Vedana berupa perasaan-perasaan; Samnya, berupa
angan-angan bayangan -atau tanggapan; Samskara, berupa tenaga penggerak,
kemauan atau nafsu-nafsu yang menyebabkan karma; Vinaya, yaitu mengenani
kejelasan atau kesadaran. Kehidupan manusia ini diibaratkan seperti rantai. Ada
12 mata rantai kehidupan manusia: Avijja (kebodohan batin), Sankhara
(bentuk-bentuk karma), Patisando Vinarna (kesadaran), nama dan raga (batin dan
jasmani) Salayatana (enam landasan India), Phassa (kortex), Vidana (perasaan);
Tantra (nafsu keinginan); Upadana (melekat), Bhava (terus menjadi tumbuh), jati
(kelahiran); Jasa Marana (tua dan mati). Dalam agama Budha menyangkal terhadap
adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap
merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya.
Agama
Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian
empiris. Agama Budha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di
dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu
adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani
dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin
dan jasmani. Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran
Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya
Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
Dukkha sebagai akibat dari
perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
Dukkha sebagai keadaan yang saling
bergantung (sankharadukkha)
Untuk menghilangkan dukkha manusia harus
mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada
dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang
mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa
nafsu. Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu
masih hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan
jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.
B. Penciptaan Alam
Terbentuknya
alam semesta menurut ajaran Buddha berawal dari cahaya. Namun karena ketamakan
diri manusia, membuat alam semesta dan bumi ini terbentuk seperti sekarang ini.
Hal ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dan
menghabiskan waktu berabad-abad lamanya. Dalam prosesnya, alam semesta hanya
terbentang ini tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Ada tiga susunan alam
semesta, yaitu:
1. Alam hawa nafsu (kamavacara), alam ini
terdiri dari bahan-bahan kasar dan unsur-unsur bumi (api, air dan udara) yang
didiami oleh makhluk-makhluk berbadan kasar (jasmani).
2. Alam bentuk (rupavacara), alam ini didiami
oleh dewa-dewa yang masih memiliki badan yang lebih halus, tetapi tidak
memiliki hawa nafsu.
3. Alam yang tidak ada bentuk (arupavacara),
pada alam ini didiami oleh dewa-dewa yang tidak berbadan, artinya masuk kea lam
ini setelah pengheningan cipta (nibana).
Kisah
kejadian alam semesta dan manusia diuraikan oleh Buddha dalam Dighya Nikaya,
Agganna Sutta, dan Bahmajala Sutta. Dalam Agganna Sutta diterangkan bahwa
sebelum terbentuknya dunia baru yang ditempati manusia, dunia yang lama
mengalami kehancuran (kiamat). Setelah melewati satu masa yang lama sekali,
maka terbentuklah dunia yang baru. Dan seiring dengan itu, lahir pula
makhluk-makhluk yang mati di alam cahaya (ambhasara). Mereka lahir secara
spontan sebagai makhluk di bumi yang baru terbentuk itu. Makhluk tersebut hidup
dari ciptaan batin (manomaya), memiliki tubuh yang bercahaya dan
melayang-layang. Pada saat itu belum ada laki-laki dan perempuan, mereka hanya
dikenal sebagai makhluk saja.
Ada
tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama
menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu
kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru
berubah. Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan
mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu. Tradisi pikiran ketiga
berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal
itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga
ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama
sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan.
Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena
miskinnya pikiran kita.”
Tentang
terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti
Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai”
atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”. Yang dimaksud
bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi
maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang
berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.
Prinsip
dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek
yang artinya berbunyi sebagai berikut:
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah
itu
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah
itu.
Sistem
dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam semesta dalam siklus
yang tak berpenghujung. Ajaran Budha tidak pernah menyatakan bahwa dunia,
matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam diciptakan oleh suatu
Tuhan yang berkuasa atau seorang Budha. Umat Budha tidak percaya bahwa dunia
akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian
tertentu dari alam menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau
berevolusi dari sisa alam semesta sebelumnya.
C.
Hubungan Manusia dan Alam
Sejak
awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal
peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api.
Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal
api, manusia telah berburu sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban
selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan
hidup. Interaksi manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala.
Manusia telah memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya
era bercocok tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap. Selain itu
manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah
bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.[1]
[1] Suarjaya, I wayan Dkk. Sejarah
Perkembangan Agama Hindu Budha. Jakarta : CV. Dewi Kayana Abadi, 2003. Hal
: 77-79
Komentar
Posting Komentar