Kerajaan-kerajaan yang
bercorak Hindu-Budha merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan
Hindu-Budha di Indonesia. Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang
memiliki kekuasaan mutlak dan turun-temurun. Kerajaan-kerajaan itu antara lain
:
v 1) Kerajaan Kutai : Nama aslinya Kutai
Martadipura merupakan kerajaan hindu tertua di Indonesia, dengan aliran agama
hindu-siwa. Letaknya di Muara Kaman tepatnya pada hulu sungai Mahakam,
Kalimantan Timur. Keberadaan kerajaan ini ditandai dengan adanya 7 buah
prasasti, yang dinamai prasasti yupa dengan huruf palawa dan bahasa sansekerta.
Pendirinya adalah Raja Kudungga. Setelah Raja Kudungga wafat, kerajaan diambil
alih oleh putranya, Raja Aswawarman. Dan setelah Raja Aswawarman wafat,
kerajaan diambil alih oleh putra Raja Aswawarman, yaitu Raja Mulawarman. Kerajaan
ini dibangun oleh Kudungga. Diduga ia belum menganut agama Hindu. Peninggalan
terpenting kerajaan Kutai adalah 7 Prasasti Yupa, dengan huruf Pallawa dan
bahasa Sansekerta, dari abad ke-4 Masehi. Salah satu Yupa mengatakan bahwa
“Maharaja Kundunga mempunyai seorang putra bernama Aswawarman yang disamakan
dengan Ansuman (Dewa Matahari).
(Sumber : https://histori.id/kerajaan-kutai/)
v 2) Kerajaan
Tarumanegera : Terletak di Jawa Barat hampir bersamaan waktunya dengan Kerajaan
Kutai. Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada
tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 – 395).
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanegara yang ketiga (395 – 434 M).
Menurut Prasasti Tugu pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati
dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Dari kerajaan
Tarumanegara ditemukan sebanyak 7 buah prasasti. Prasasti tersebut adalah
prasasti Ciaruteun, Kebun Kopi, Jambu, Tugu, Pasar Awi, Muara Cianten, dan
Lebak. Seorang musafir Cina bernama Fa-Hsien pernah datang di Jawa pada tahun
414 M. Ia telah menyebut keberadaan kerajaan To-lo-mo atau Taruma di Pulau
Jawa. Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang pada abad V M. Raja
terbesar yang berkuasa adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman
meliputi hampir seluruh Jawa Barat dengan pusat kekuasaan di daerah Bogor. Raja
pernah memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara menggali sebuah saluran
panjang 6.112 tumbak (± 11 km). Saluran itu berfungsi untuk mencegah bahaya
banjir. Saluran ini selanjutnya disebut sebagai sungai Gomati.[1]
v 3) Kerajaan
Sriwijaya : Sriwijaya merupakan kerajaan yang bercorak agama Budha. Raja yang
pertamanya bernama Sri Jaya Naga, Kerajaan sriwijaya
adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah berjaya di Indonesia. Kerajaan
ini mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim dengan menguasai lalu
lintas pelayaran dan perdagangan internasional. sedangkan raja yang paling
terkenal adalah Raja Bala Putra Dewa. Letaknya yang strategis di Selat Malaka (Palembang)
yang merupakan jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Keadaan alam
Pulau Sumatera dan sekitarnya pada abad ke-7 berbeda dengan keadaan sekarang.
Sebagian besar pantai timur baru terbentuk kemudian. Oleh karena itu Pulau
Sumatera lebih sempit bila dibandingkan dengan sekarang, sebaliknya Selat Malaka
lebih lebar dan panjang.[2]
Beberapa
faktor yang mendorong perkembangan kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan besar
antara lain adalah Kemajuan kegiatan perdagangan antara India dan Cina melintasi
selat Malaka, sehingga membawa keuntungan yang besar bagi Sriwijaya. Keruntuhan
Kerajaan Funan di Vietnam Selatan akibat serangan kerajaan Kamboja memberikan
kesempatan bagi perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim (sarwajala) yang
selama abad ke-6 dipegang oleh kerajaan Funan.
Berdasarkan
berita dari I Tsing ini dapat kita ketahui bahwa selama tahun 690 sampai 692,
Kerajaan Melayu sudah dikuasai oleh Sriwijaya. Sekitar tahun 690 Sriwijaya
telah meluaskan wilayahnya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
Hal ini juga diperkuat oleh 5 buah prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang
kesemuanya ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo,
Prasasti Kota Kapur, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Karang Birahi, Prasasti
Ligor Selain peninggalan berupa prasasti, terdapat peninggalan berupa candi.
Candi-candi budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain
Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal, akan tetapi tidak
seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di
Sumatera terbuat dari bata merah. Beberapa arca-arca bersifat budhisme, seperti
berbagai arca budha dan bodhisatwa Awalokiteswara ditemukan di Bukit Seguntang,
Palembang, Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya.[3]
Pada
masa pemerintahan Bala Putra Dewa Sriwijaya menjadi pusat perdagangan sekaligus
pusat pengajaran agama Budha. Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana,
Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia.
Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera
dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan
695. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha
sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke
pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut
berkembang di Sriwijaya. Letak Sriwijaya yang strategis juga dapat mengundang
bangsa lain menyerang Sriwijaya. Beberapa faktor penyebab kemunduran dan
keruntuhan Adanya serangan dari Raja Dharmawangsa 990 M. Adanya serangan dari
kerajaan Cola Mandala yang diperintah oleh Raja Rajendracoladewa. Pengiriman
ekspedisi Pamalayu atas perintah Raja Kertanegara, 1275 – 1292. Muncul dan
berkembangnya kerajaan Islam Samudra Pasai. Adanya serangan kerajaan Majapahit
dipimpin Adityawarman atas perintah Mahapatih Gajah Mada, 1477. Sehingga
Sriwijaya menjadi taklukkan Majapahit.[4]
v 4) Kerajaan
Mataram Kuno (Hindu-Budha) : Kerajaan Mataram diketahui dari Prasasti Canggal
yang berangka tahun 732 Masehi yang ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa
Sansekerta. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada mulanya Jawa (Yawadwipa)
diperintah oleh Raja Sanna. Setelah ia wafat Sanjaya naik tahta sebagai
penggantinya. Sanjaya adalah putra Sannaha (saudara perempuan Sanna). Menurut
Teori Van Bammalen, letak kerajaan ini berpindah-pindah, hal
ini disebabkan oleh 2 alasan, yaitu karena adanya bencana alam letusan
Gunung Merapi, dan karena adanya peperangan dalam perebutan kekuasaan. Awalnya,
pada abad ke-8 kerajaan ini terletak di daerah Jawa Tengah, kemudian setelah
Gunung Merapi meletus pada abad ke-10, kerajaan ini dipindahkan ke Jawa Timur
oleh Mpu Sindok. Agama di kerajaan ini pun terbagi menjadi 2, yaitu hindu pada
Dinasti Sanjaya dan budha pada Dinasti Syailendra. Kerajaan Mataram Kuno
didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya,
Raja Sanjaya.
Berdasarkan
berita Cina diperoleh keterangan bahwa Raja Dharmawangsa pada tahun 990 – 992 M
melakukan serangan terhadap Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1016, Airlangga
datang ke Pulau Jawa untuk meminang putri Dharmawangsa. Namun pada saat upacara
pernikahan berlangsung kerajaan mendapat serangan dari Wurawuri dari Lwaram
yang bekerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya. Peristiwa ini disebut peristiwa Pralaya.
Selama dalam pengassingan ia menyusun kekuatan. Setelah berhasil menaklukkan
raja Wurawari pada tahun 1032 dan mengalahkan Raja Wijaya dari Wengker Pada
tahun 1035 ia berhasil mengembalikan kekuasaan. Airlangga wafat pada tahun 1049
dan disemayamkan di Parthirtan Belahan, di lereng gunung Penanggungan.[5]
v 5) Kerajaan
Kadiri : Legenda Kerajaan Kadiri yakni Pada akhir pemerintahannya Airlangga
kesulitan dalam menunjuk penggantinya, sebab Putri Mahkotanya bernama
Sanggramawijaya menolak menggantikan menjadi raja. la memilih menjadi seorang
pertapa. Maka tahta diserahkan kepada kedua orang anak laki-lakinya, yaitu
Jayengrana dan Jayawarsa. Untuk menghindari perselisihan di antara keduanya
maka kerajaan di bagi dua atas bantuan Pu Barada yaitu Jenggala dengan
ibukotanya Kahuripan dan Panjalu dengan ibukotanya Daha (Kadiri).
Sampai
setengah abad lebih sejak Airlangga mengundurkan diri tidak ada yang dapat
diketahui dari kedua kerajaan itu. Kemudian hanya Kadiri yang menunjukkan
aktifitas politiknya. Raja pertama yang muncul dalam pentas sejarah adalah Sri
Jayawarsa dengan prasastinya yang berangka tahun 1104 M. Pada tahun 1222
terjadilah Perang Ganter antara Ken arok dengan Kertajaya. Ken Arok dengan
bantuan para Brahmana (pendeta) berhasil mengalahkan Kertajaya di Ganter
(Pujon, Malang).
(Sumber : https://perpustakaan.id/sejarah-kerajaan-kediri/)
v 6) Kerajaan
Singhasari : Keberadaan Kerajaan Singhasari didasarkan pada kitab
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan raja-raja yang
memerintah di Singasari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan keajaiban
Ken Arok. Ken Arok semula sebagai akuwu (bupati) di Tumapel menggantikan
Tunggul Ametung yang dibunuhnya karena tertarik kepada Ken Dedes isteri Tunggul
Ametung. Pada tahun 1222 M Ken Arok menyerang kediri sehingga Kertajaya
mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter.
Ken
Arok menyatakan dirinya sebagai Raja Singasari dengan gelar Sri Rangga Rajasa
Bhattara Sang Amurwabhumi. Raja Singasari yang terkenal adalah Kertanegara
Karena di bawah pemerintahannya Singasari mencapai puncak kebesarannya.
Kertanegara bergelar Sri Maharajaderaja Sri Kertanegara mempunyai gagaasan
politik untuk memperluas wilayah kekuasannya, menyingkirkan lawan-lawan
politiknya, menumpas pemberontakan, menyatukan agama Syiwa dan Buddha menjadi
agama Tantrayana (Syiwa Buddha dipimpin oleh Dharma Dyaksa), melakukan politik
perkawinan, dan mengirim ekspedisi Pamalayu tahun 1275 yakni ketika beberapa
pembesar raja tersebut merantau.[6]
v 7) Kerajaan
Majapahit : Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu terakhir dan terbesar
di Indonesia. Letaknya di Pulau Jawa. Pendirinya adalah Raden Wijaya yang
sempat melarikan diri ke Madura bersama istrinya saat terjadi Peristiwa
Mahapralaya. Kerajaan Majapahit, awalnya hanyalah sebuah desa kecil bernama
Desa Tarik yang merupakan pemberian Raja Jayakatwang dari Kediri. Raden Wijaya
telah dimaafkan dan dipercaya tidak bersalah atas kesalahan generasi atasnya.
Pada
tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam
Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah
berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Wuruk
dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan Gajah Mada
diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah
Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit
menguasai wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk
pada Majapahit, namun ada satu kerajaan kecil yang belum berhasil dikuasai
kerajaan Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda Galuh. Raja Hayam Wuruk bersama Patih
Gajah Mada berusaha untuk menaklukan kerajaan tersebut.[7]
Namun ketika itu Raja Hayam Wuruk terlanjur
jatuh cinta pada putri dari Kerajaan Sunda Galuh yang bernama Dyah Pitaloka.
Raja Hayam Wuruk bermaksud untuk menikahi Dyah Pitaloka. Ia mengundang keluarga
besar Kerajaan Sunda Galuh datang ke Kerajaan Majapahit untuk menikah dengan
Dyah Pitaloka. Ketika keluarga besar dari kerajaan Sunda Galuh tiba di Kerajaan
Majapahit, terjadi kesalahpahaman. Patih Gajah Mada mengira bahwa keluarga
besar Kerajaan Sunda Galuh ingin menyerang Kerajaan Majapahit, akhirnya Patih
Gajah Mada segera mengeluarkan pasukan dan membunuh semua anggota keluarga
Kerajaan Sunda Galuh. Hanya Dyah Pitaloka yang tidak dibunuh. Melihat seluruh
keluarganya tewas, Dyah Pitaloka pun akhirnya melakukan belapati (bunuh diri)
pada dirinya sendiri.
Raja
Hayam wuruk yang mengetahui peristiwa kesalah pahaman tersebut menjadi marah,
terlebih ketika melihat calon istrinya mati karena bunuh diri atas
kesalahpahaman patihnya. Akhirnya, Raja Hayam Wuruk pun sakit, dan meninggal
karena sakit hati. Sejak kematian Raja Hayam Wuruk, maka Kerajaan Majapahit
mencapai masa kemunduran, perlahan-lahan kekuasaan Majapahit pun runtuh. Pada
salah satu versi cerita, dikisahkan Sang Patih, Gajah Mada pergi ke sebuah
gunung untuk berdiam diri dan menjadi pertapa karena merasa bersalah pada
rajanya.[8]
Kerajaan-kerajaan
yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan
Hindu-Budha di Indonesia. Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang
memiliki kekuasaan mutlak dan turun-temurun dan telah membawa pengaruh terhadap perkembangan
kebudayaaan di Nusantara. Namun kebudayaan asli Indonesia tidak begitu luntur.
Kebudayaan itu mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan, maka terjadilah
proses akulturasi kebudayaan.
(Sumber : https://www.plukme.com/post/1521701450-mengunjungi-mojokerto-napak-tilas-ibu-kota-kerajaan-majapahit)
v 8) Kerajaan Padjajaran : Kerajaan
Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di
Parahyangan (Sunda). Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang
berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama
kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan
ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam
Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang,
tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.
Awal Pakuan Pajajaran Seperti tertulis dalam
sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan, saling
berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan
Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat
Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa
Barat.
(Sumber : http://kanaljabar.com/sejarah-kerajaan-pajajaran/)
[1] Hadiwijono,
Harun. Agama Hindu dan Buddha. PT. BPK Gunung Mulia. Jakarta. 2010. Hlm.
112
[2] Romdhon Dkk. Agama-Agama Di Dunia. IAIN Sunan Kalijaga
Press, Yogyakarta 1988.
Hlm. 101
[4] I wayan Suarjaya Dkk. Sejarah Perkembangan
Agama Budha. CV. Dewi Kayana Abadi, Jakarta, 2003. Hlm. 276
[5] I wayan Suarjaya Dkk. Sejarah Perkembangan
Agama Budha. CV. Dewi Kayana Abadi, Jakarta, 2003. Hlm. 279
[8] Romdhon
Dkk. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Hal : 144-148
Komentar
Posting Komentar